Headlines News :

Rabu, 26 Februari 2014

REFLEKSI

Abdul Kholik
Naliko Kurangnya Komunikasi” Menghegemoni Kita
(Refleksi Singkat untuk Forum Agung ‘MUSYTAG XIII’)

Setiap kali melihat segepok kertas berlabelkan “Laporan Pertanggungjawaban” yang ada di kantor atau saat saya diminta untuk ikut menghadiri LPJ sebuah kepanitiaan, di antara suhuf-suhuf ‘bertuah’ itu saya selalu melihat dua buah kata yang sudah terpatri dengan begitu kuatnya dan seolah tidak akan pernah bisa lepas: Kurangnya Komunikasi. Buat sebagian orang mungkin itu hanya dua kata sederhana yang tidak perlu dipersoalkan. Pun demikian yang saya rasakan pada awalnya. “Kurangnya komunikasi kan cuma kekhilafan sepele yang terjadi di lapangan dan memang sejak awal tidak diharapkan,” batin saya ketika baru beberapa kali ‘dipaksa’ berhadapan dengan dua kata itu. Tapi seiring berjalannya waktu, saya kok ya jadi terganggu dengan dua kata yang selalu setia menghiasi setiap lembaran LPJ di UKM kita tercinta.

Apa yang saya rasakan ini tak ubahnya seperti bibit-bibit kisah cinta dua anak manusia yang di awal perjumpaannya terkesan adem ayem. Tapi karena intensitas pertemuan antara keduanya terus meningkat, maka perhatian salah satu kepada yang lain menjadi maujud dengan sendirinya. Tapi entahlah, ini kan hanya soal persepsi. Bisa jadi dua kata ini bukanlah apa-apa buat sebagian orang. Bisa jadi juga kedua kata ini memang merupakan sebuah keniscayaan yang harus ada di setiap LPJ kepanitiaan kita.

‘Ala kulli hal, kita semua tentu sudah mafhum bahwa komunikasi adalah nafas bagi sebuah organisasi atau kepanitiaan. Tanpa ada komunikasi, maka organisasi atau kepanitiaan lambat laun akan mati. Padahal bukankah kematian sebuah organisasi adalah hal yang sama sekali tidak diinginkan para anggotanya? Jika memang demikian adanya, maka ketika kekurangan komunikasi menghegemoni dan mengacaukan langkah kita dalam menjalankan roda organisasi/kepanitiaan, tidak ada jalan lain yang bisa dilakukan selain dengan belajar untuk menghadapi dan mengatasi kekurangan komunikasi itu.

Niklas Luhmann, seorang sosiolog asal tempat Tim Paser berada, pernah dawuh bahwa proses komunikasi adalah sintesis dari tiga komponen: pesan, informasi, dan pemahaman. Konsekuensi yang muncul dari sintesis ini adalah: komunikasi baru dikatakan terjadi ketika informasi itu sudah benar-benar disampaikan (imparted).

Tapi ternyata prosesnya tidak berhenti sampai di situ. Poin penting yang juga perlu kita catat dari proses komunikasi ala Luhmann itu adalah bahwa dalam proses komunikasi, informasi yang disampaikan tidak sama dengan memahami informasi tersebut. Maksudnya ketika kita menyampaikan sebuah informasi (apalagi dalam bentuk tertulis) kepada seseorang, kita tidak bisa serta merta mengatakan bahwa orang itu benar-benar sudah memahami informasi yang kita berikan dan menganggap bahwa informasi itu akan bisa dijalankan dengan benar.

Kalau pendapat Luhmann di atas kita tarik dalam konteks “Kurangnya Komunikasi” yang sudah menghegemoni LPJ-LPJ kita selama ini, maka komunikasi yang tepat adalah komunikasi yang tidak hanya berhenti di tataran MENYAMPAIKAN-MENERIMA-MELAKSANAKAN, melainkan harus disertai dengan proses memahamkan (MENYAMPAIKAN-MENERIMA-MEMAHAMKAN-MELAKSANAKAN). Dengan kata lain, sampaikanlah informasi (internal-eksternal, verbal-nonverbal, maupun vertikal-horizontal) kepada penerimanya secara langsung (tanpa diwakilkan), kemudian sang informan berusaha untuk memahamkan informasi itu pada penerimanya sampai yang bersangkutan benar-benar memahaminya. Setelah pemahaman terwujud, maka informasi pun bisa dilaksanakan.

Konkretnya, ketika misalnya ada sie. Acara dalam sebuah kepanitiaan yang memerlukan bantuan sie. Akomodasi untuk mengambilkan sebuah barang yang dibutuhkan oleh sie. Acara, sampaikanlah keperluan itu langsung kepada yang bersangkutan. Ketika sie. Akomodasi sudah menerima keperluannya, tugas sie. Acara selanjutnya adalah memahamkan keperluannya; barang seperti apa yang dibutuhkan? Yang besar atau kecil? Yang merah atau kuning? Kalau tidak ada kendaraan, sie. Acara perlu menyediakannya, dan lain sebagainya. (Silakan dibayangkan dan dikembangkan sendiri pada kasus yang lain)

Pertanyaan terakhir yang mungkin muncul dibenak teman-teman, apa itu berarti bahwa “Kurangnya Komunikasi” adalah sebuah kesalahan? Saya kira tidak demikian, sebab semata-mata keterbatasan kitalah sehingga hal itu bisa terjadi. Yang menurut saya salah adalah ketika kita tidak mau belajar dari kegagalan “Kurangnya Komunikasi” pengurus atau kepanitiaan sebelumnya. Kenapa saya katakan salah, sebab keterbatasan apapun yang kita miliki sama sekali tidak bisa menjadi penghalang bagi kita untuk belajar dari sebuah kegagalan.

Akhirnya, perlu saya tegaskan lagi bahwa coretan ini hanyalah sekedar refleksi teoretis dari saya untuk menyambut MUSYTAG. Selamat kepada calon pengurus terpilih. Untuk pengurus demisioner, semoga forum ini bukanlah akhir dari pengabdian Anda semua kepada Al-Mizan.

Selamat ber-Musyawarah Tahunan Anggota Ke-XIII
Let’s always COMMUNICATE with our partners, talk to them, and LISTEN!!!

Salam tangan kanan dari saya,
AK-1986

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Proudly powered by Blogger
Copyright © 2011. UKM JQH AL-MIZAN - All Rights Reserved
Template Design by Creating Website Published by Mas Template