Abdul Kholik |
Naliko
“Kurangnya Komunikasi” Menghegemoni Kita
(Refleksi Singkat untuk Forum Agung ‘MUSYTAG XIII’)
Setiap kali melihat segepok
kertas berlabelkan “Laporan Pertanggungjawaban” yang ada di kantor atau saat
saya diminta untuk ikut menghadiri LPJ sebuah kepanitiaan, di antara suhuf-suhuf
‘bertuah’ itu saya selalu melihat dua buah kata yang sudah terpatri dengan begitu
kuatnya dan seolah tidak akan pernah bisa lepas: Kurangnya Komunikasi. Buat
sebagian orang mungkin itu hanya dua kata sederhana yang tidak perlu
dipersoalkan. Pun demikian yang saya rasakan pada awalnya. “Kurangnya
komunikasi kan cuma kekhilafan sepele yang terjadi di lapangan dan memang sejak
awal tidak diharapkan,” batin saya ketika baru beberapa kali ‘dipaksa’
berhadapan dengan dua kata itu. Tapi seiring berjalannya waktu, saya kok ya
jadi terganggu dengan dua kata yang selalu setia menghiasi setiap lembaran LPJ
di UKM kita tercinta.
Apa yang saya rasakan ini
tak ubahnya seperti bibit-bibit kisah cinta dua anak manusia yang di awal
perjumpaannya terkesan adem ayem. Tapi karena intensitas pertemuan antara
keduanya terus meningkat, maka perhatian salah satu kepada yang lain menjadi
maujud dengan sendirinya. Tapi entahlah, ini kan hanya soal persepsi. Bisa jadi
dua kata ini bukanlah apa-apa buat sebagian orang. Bisa jadi juga kedua kata
ini memang merupakan sebuah keniscayaan yang harus ada di setiap LPJ
kepanitiaan kita.
‘Ala
kulli hal, kita semua tentu sudah mafhum bahwa komunikasi adalah
nafas bagi sebuah organisasi atau kepanitiaan. Tanpa ada komunikasi, maka
organisasi atau kepanitiaan lambat laun akan mati. Padahal bukankah kematian
sebuah organisasi adalah hal yang sama sekali tidak diinginkan para anggotanya?
Jika memang demikian adanya, maka ketika kekurangan komunikasi menghegemoni dan
mengacaukan langkah kita dalam menjalankan roda organisasi/kepanitiaan, tidak
ada jalan lain yang bisa dilakukan selain dengan belajar untuk menghadapi dan
mengatasi kekurangan komunikasi itu.
Niklas Luhmann, seorang
sosiolog asal tempat Tim Paser berada, pernah dawuh bahwa proses komunikasi
adalah sintesis dari tiga komponen: pesan, informasi, dan pemahaman. Konsekuensi
yang muncul dari sintesis ini adalah: komunikasi baru dikatakan terjadi ketika
informasi itu sudah benar-benar disampaikan (imparted).
Tapi ternyata prosesnya
tidak berhenti sampai di situ. Poin penting yang juga perlu kita catat dari proses
komunikasi ala Luhmann itu adalah bahwa dalam proses komunikasi, informasi
yang disampaikan tidak sama dengan memahami informasi tersebut. Maksudnya
ketika kita menyampaikan sebuah informasi (apalagi dalam bentuk tertulis) kepada
seseorang, kita tidak bisa serta merta mengatakan bahwa orang itu benar-benar sudah
memahami informasi yang kita berikan dan menganggap bahwa informasi itu akan
bisa dijalankan dengan benar.
Kalau
pendapat Luhmann di atas kita tarik dalam konteks “Kurangnya Komunikasi”
yang sudah menghegemoni LPJ-LPJ kita selama ini, maka komunikasi yang tepat
adalah komunikasi yang tidak hanya berhenti di tataran MENYAMPAIKAN-MENERIMA-MELAKSANAKAN,
melainkan harus disertai dengan proses memahamkan
(MENYAMPAIKAN-MENERIMA-MEMAHAMKAN-MELAKSANAKAN). Dengan
kata lain, sampaikanlah informasi (internal-eksternal, verbal-nonverbal, maupun
vertikal-horizontal) kepada penerimanya secara langsung (tanpa diwakilkan), kemudian
sang informan berusaha untuk memahamkan informasi itu pada penerimanya sampai
yang bersangkutan benar-benar memahaminya. Setelah pemahaman terwujud, maka
informasi pun bisa dilaksanakan.
Konkretnya, ketika
misalnya ada sie. Acara dalam sebuah kepanitiaan yang memerlukan bantuan sie.
Akomodasi untuk mengambilkan sebuah barang yang dibutuhkan oleh sie. Acara, sampaikanlah
keperluan itu langsung kepada yang bersangkutan. Ketika sie. Akomodasi sudah
menerima keperluannya, tugas sie. Acara selanjutnya adalah memahamkan
keperluannya; barang seperti apa yang dibutuhkan? Yang besar atau kecil? Yang
merah atau kuning? Kalau tidak ada kendaraan, sie. Acara perlu menyediakannya,
dan lain sebagainya. (Silakan dibayangkan dan dikembangkan sendiri pada
kasus yang lain)
Pertanyaan terakhir yang
mungkin muncul dibenak teman-teman, apa itu berarti bahwa “Kurangnya
Komunikasi” adalah sebuah kesalahan? Saya kira tidak demikian, sebab semata-mata
keterbatasan kitalah sehingga hal itu bisa terjadi. Yang menurut saya salah
adalah ketika kita tidak mau belajar dari kegagalan “Kurangnya Komunikasi”
pengurus atau kepanitiaan sebelumnya. Kenapa saya katakan salah, sebab
keterbatasan apapun yang kita miliki sama sekali tidak bisa menjadi penghalang
bagi kita untuk belajar dari sebuah kegagalan.
Akhirnya, perlu saya
tegaskan lagi bahwa coretan ini hanyalah sekedar refleksi teoretis dari saya untuk
menyambut MUSYTAG. Selamat kepada calon pengurus terpilih. Untuk pengurus
demisioner, semoga forum ini bukanlah akhir dari pengabdian Anda semua kepada
Al-Mizan.
Selamat ber-Musyawarah
Tahunan Anggota Ke-XIII
Let’s always COMMUNICATE
with our partners, talk to them, and LISTEN!!!
Salam tangan kanan dari saya,
AK-1986
Tidak ada komentar:
Posting Komentar