Headlines News :

Rabu, 26 Februari 2014

MUJAWWAD


Lasti Ardhina
Makna Melagukan al-Qur’an
Perspektif Sosiologi Pengetahuan Karl Mannheim

Sejak al-Qur’an diturunkan hingga sekarang, ia tak pernah berhenti dibaca oleh umat Muslim. Tidak hanya pada saat shalat tetapi juga dalam acara-acara keagamaan dan bahkan acara formal, seperti dalam seminar. Dalam membaca al-Qur’an sendiri diperlukan ilmu tajwid yang memberikan panduan tentang bagaimana setiap huruf dilafalkan. Tajwid tidak mengatur persoalan tempo, irama, atau intonasi pembacaan al-Qur’an. Menurut Anne Gade hanya pada periode Abbasiyah para qurra’ mulai melantunkan al-Qur’an mengikuti irama tertentu (maqam) yang populer saat itu. Kemudian berkembang menjadi teori dan praktik musik melalui perpaduan antara gaya Arab dan Persia. Lantunan al-Qur’an dengan lagu tertentu ini kemudian disebut dengan istilah mujawwad. Hal ini merupakan unsur seni hasil kreativitas manusia dan sebagai bentuk improvisasi yang diperkenalkan ke dalam qira’ah al-Qur’an.[1]
 
Adapun melantunkan al-Qur’an saat ini diwarnai oleh lagu-lagu dan irama ala Masri yang telah berkembang dan menjadi standart pada dunia tilawatil Qur’an dewasa ini sehingga dari jenis lagu-lagu yang dibawakan dalam tilawah pun telah berkembang dengan berbagai variasinya. Di antara lagu-lagu tersebut ialah bayati, shoba, hijaz, nahawan, rast, jiharkah dan shika.[2] Peralihan, keutuhan dan tempo lagu yang sudah diatur akan mewujudkan keindahan tersendiri dalam membacanya.[3]

Melantunkan al-Qur’an telah dipraktekkan oleh setiap Muslim akan tetapi membaca al-Qur’an dengan bacaan mujawwad ini tidak tiap orang bisa mengaplikasikannya dan tak jarang yang harus banyak belajar dan berlatih. Hal ini yang kemudian dilakukan oleh mahasiswa UIN Sunan Kalijaga yang tergabung dalam UKM JQH al-Mizan dan khususnya divisi tilawah. Setelah menempuh latihan selama satu bulan kemudian diadakan acara haflah tilawah. Yang menarik di sini, konsep acara haflah tilawah dijalankan menyerupai program acara televisi X-Factor yang sedang digandrungi oleh masyarakat Indonesia. Hal ini tentu sangat berbeda dengan haflah tilawah pada umumnya karena mereka telah melakukan beberapa inovasi untuk menyesuaikan dengan kondisi anggota UKM JQH al-Mizan. Kemudian haflah tilawah tersebut berganti nama menjadi Q-Factor (Qira’ah Factor).

 Adapun setelah mengikuti kegiatan rutin divisi tilawah UKM JQH al-Mizan yaitu latihan dan haflah tilawah, kami menemukan beberapa hal yang menarik yang akan dijelaskan kemudian. Latihan yang mereka lakukan dalam satu minggu terdapat tiga pertemuan. Dua pertemuan untuk anggota putra dan putri sedangkan satu pertemuan hanya dikhususkan untuk anggota putri dan yang mengajar juga perempuan. Setelah melakukan latihan selama satu bulan, acara puncaknya yaitu haflah tilawah. Biasanya hanya menampilkan beberapa qari/qari’ah antara empat sampai lima, dengan durasi lima sampai tujuh menit. Adapun yang tampil bukan hanya anggota baru tetapi adapula anggota lama. Namun anggota baru diwajibkan tampil dalam satu tahun minimal satu kali. Hal ini dimaksudkan untuk melatih mental mereka ketika tampil di muka dan ketika terjun ke masyarakat. Sedang maqra atau ayat yang dibaca tidak ditentukan sehingga peserta haflah tilawah bisa memilih ayat sesuka hati mereka.

Tujuan haflah tersebut sejalan dengan motivasi salah satu anggota divisi tilawah yaitu agar ketika terjun dimasyarakat bisa mengaplikasikannya dalam acara-acara tertentu. Selain itu ada pula alasan lain yang melatarbelakangi mereka membaca al-Qur’an dengan lagu, di antaranya yaitu membuat hati tentram, ingin membaca al-Qur’an lebih lama dan berlandaskan Firman Allah SWT serta hadis Nabi saw.

Surat Al-Muzzammil ayat 4
أَوْ زِدْ عَلَيْهِ وَرَتِّلِ الْقُرْآَنَ تَرْتِيلًا

Atau lebih dari seperdua itu. dan bacalah Al Quran itu dengan perlahan-lahan.

حَدَّثَنَا عُثْمَانُ بْنُ أَبِي شَيْبَةَ حَدَّثَنَا جَرِيرٌ عَنْ الْأَعْمَشِ عَنْ طَلْحَةَ عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ عَوْسَجَةَ عَنْ الْبَرَاءِ بْنِ عَازِبٍ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ زَيِّنُوا الْقُرْآنَ بِأَصْوَاتِكُمْ

(HR. Abu Daud - 1256) : Telah menceritakan kepada Kami Utsman bin Abu Syaibah, telah menceritakan kepada Kami Jarir dari Al A'masy dari Thalhah dari Abdurrahman bin 'Ausajah dari Al Bara` bin 'Azib ia berkata; Rasulullah shallAllahu wa'alaihi wa sallam bersabda: "Perindahlah Al Qur'an dengan suara kalian."

Mereka memahami bahwa ayat tersebut memerintahkan membaca al-Qur’an dengan tartil maksudnya ialah tilawah. Dan hadis di atas dipahami sebagai anjuran untuk melantunkan al-Qur’an dengan lagu. Adapun hal-hal yang tak boleh ditinggalkan ialah tajwid dan makhraj huruf. Karena melagukan al-Qur’an tidaklah mudah sehingga banyak yang berangapan hanya akan merusak tajwid padahal bagi orang-orang yang memang sudah ahli, hal ini bisa menjadi sebuah karya seni yang bisa dinikmati. Untuk itu ketika melagukan al-Qur’an diperlukan sebuah kaidah.

          Melantunkan al-Qur’an dengan lagu memiliki nilai seni yang terkandung dalam lagu dan suara pelantun. Namun seni yang dimaksudkan bukan hanya keindahan lagu dan suara semata. Akan tetapi ketika melantunkan ayat al-Qur’an dengan lagu bisa menyentuh hati pendengar. Hal ini yang akan menambah keimanan bagi pelantun maupun yang mendengar.

          Lagu yang digunakan untuk melantunkan ayat al-Qur’an tidak semena-mena karena terdapat beberapa jenis lagu dan variasinya yang biasa digunakan baik di Indonesia maupun mancanegara. Lagu-lagu ini yang kemudian harus dipahami dengan seksama tanpa meninggalkan tajwid dan makhraj huruf. Sehingga untuk memperoleh hasil yang memuaskan diperlukan latihan dan kerja keras.

          Kembali ke pembahasan awal, setelah melakukan proses latihan selama satu bulan kemudian diadakan acara haflah tilawah seperti yang dijelaskan di muka. Akan tetapi mulai bulan Maret, konsep acara haflah tilawah mengalami modifikasi yakni meniru program acara X-Factor yang sedang menjadi favorit kaum muda-mudi di Indonesia. Sehingga kemudian acara haflah tilawah berganti nama menjadi Q-Factor (Qira’ah Factor).  Kegiatan dengan konsep yang baru telah dilaksanakan sebanyak dua kali pada bulan Maret dan April. Dalam rangkaian acara tersebut, setelah peserta tampil kemudian dua orang qari/ qari’ah senior yang paham akan memberikan komentar atau masukan kepada peserta yang tampil. Hal ini dimaksudkan agar lebih mudah mengerti kekurangan-kekurangannya sendiri sehingga ada motivasi untuk perbaikan ke depannya. Adapun yang menjadi peserta haflah bukan hanya yang telah mampu melagukan al-Qur’an melainkan diperuntukkan pula bagi anggota yang baru belajar sehingga bisa diketahui kemajuan-kemajuannya. 

Jika melihat fenomena tersebut dari kacamata sosiologi pengetahuan Karl Mannheim, maka dapat diketahui perilaku dan makna perilaku membaca al-Qur’an dengan lagu. Adapun makna perilaku membaca al-Qur’an dengan lagu mempunyai tiga makna. Pertama, makna objektif yaitu makna yang berlaku bagi semua orang dan diketahui semua orang. Dalam perilaku membaca al-Qur’an dengan lagu makna objektif yang dapat ditemukan ialah harus memperhatikan tajwid, makhraj dan lagu serta variasinya. Lagu dan variasinya pun bermacam-macam, sebagai contoh lagu ala Masri di antaranya yaitu bayati, shoba, hijaz, nahawan, rast, jiharkah dan shika.[4] Adapun variasi lagu tilawatil Qur’an antara lain pertama, dalam lagu bayati; qoror, nawa, syuri, jawab, jawabul jawab. Kedua, dalam lagu shoba; maal ‘ajam (ajami asyiroh), quflah bastanjar. Ketiga, dalam lagu Hijaz; kard, kard kurd, kurd. Keempat, dalam lagu nahawan; nakris, ‘usyaq, jawab. Kelima, dalam lagu rast; rast ala nawa, rast syabir, zanjirin, salalim. Keenam, dalam lagu jiharkah; nawa (nada awal jiharkah), jawab (nada tinggi jiharkah). Ketujuh, dalam lagu shika; iraq (variasi), turki (nada tinggi shika), saml (nada minor), huzami (quflah).[5] Namun dalam melagukan al-Qur’an tidak diharuskan urut berdasarkan lagu tersebut di atas.[6]

Kedua, makna ekspresive yang merupakan makna personal masing-masing orang. Makna yang bisa digali dari perilaku membaca al-Qur’an dengan lagu ialah adanya motivasi untuk bisa menjadi qori ketika terjun ke masyarakat dalam acara-acara tertentu.
Seperti yang diungkapkan oleh Siti Atiqoh, “Melu latihan tilawah ben mengko terjun ng masyarakat bisa dinggo kaya ng acara-acara ngantenan terus ben nambah ilmu” [7]
(“Latihan tilawah untuk terjun di masyarakat dalam acara-acara dan untuk menambah ilmu”).
 
Adapula yang berpendapat bahwa unsur seni yang terkandung di dalamnya dimaksudkan agar menyentuh hati pendengar dan pelantun untuk menambah keimanan. Hal ini diutarakan oleh Maria Ulfa ketika ditanya membaca al-Qur’an dengan lagu mengandung unsur seni, menurut Anda dimana letak unsur seninya?
Kemudian narasumber menjawab, “Iya, unsur seninya ya ada di suara dan lagunya beb...tapi menurut saya yang paling utama itu justru unsur seninya ketika ia bisa menyentuh hati saya pribadi dan yang mendengar, karena dengan itu bisa menambah iman.”[8]
 
Selain itu, tak sedikit yang mengatakan bahwa membaca al-Qur’an dengan lagu juga mempunyai landasan baik dalam Qur’an maupun hadis. Beberapa di antaranya yaitu Siti Atiqoh, Maria Ulfa, Lilis Mayasari dan Tika Kurniawati, berikut merupakan pendapat yang narasumber tersebut kemukakan:
Siti Atiqoh, “Kuwi ono hadise, sing perbaguslah al-Qur’an dengan suara kalian. Tapi aku lali hadise.” [9]
(itu ada hadisnya, yang perbaguslah al-Qur’an dengan suara kalian. Tapi aku lupa hadisnya)
Maria Ulfa, “Kan ada hadis yang bunyinya  ... زَيِّنُوا الْقُرْآنَ  terus ada lagi dalam al-Qur’an menyuruh membaca al-Qur’an dengan tartil, itu kayaknya di surat al-Muzammil tapi saya lupa ayat berapa, entah ayat tujuh atau berapa nanti dicari ajah beb.”[10]
Lilis Mayasari mengatakan bahwa, “Rasul pernah memerintahkan membaca al-Qur’an dengan tartil.”[11]
Tika Kurniawati mengatakan bahwa, “Ada hadis dan dalam surat al-Muzammil ayat 4.”[12]

Ketiga, makna dokumenter  merupakan makna yang tersirat dan membuat orang-orang membaca al-Qur’an dengan lagu. Setelah melalui wawancara dengan empat narasumber, semuanya memberikan argumen bahwa Rasul saw. menganjurkan membaca al-Qur’an dengan tartil dan dilagu seperti dalam hadis di atas.

                                                                             Sapen, 24 Juni 2013
                                                                                      Salam
                                                                                      LA


[1] Inggrid Matson, The Story of the Qur’an terj. R. Cecep Lukman Yasin (Jakarta: Zaman, 2013), hlm. 166.
[2] Ahmad Munir dan Sudarsono, Ilmu Tajwid dan Seni Baca Qur’an (Jakarta: Rineka Cipta, 1994), hlm. 95-96.
[3] Ahmad Munir dan Sudarsono, Ilmu Tajwid dan Seni Baca Qur’an, hlm.  98
[4] Ahmad Munir dan Sudarsono, Ilmu Tajwid dan Seni Baca Qur’an, hlm. 95-96.
[5] Ahmad Munir dan Sudarsono, Ilmu Tajwid dan Seni Baca Qur’an, hlm. 95-96.
[6] Wawancara dengan Ain Ali Maftuh melaui pesan singkat tanggal 8 Mei 2013 Pukul 08.30 WIB.
[7] Wawancara dengan Siti Atiqoh tanggal 7 Mei 2013 di Sapen Pukul 11.30 WIB.
[8] Wawancara dengan Maria Ulfa tanggal 7 Mei di Masjid UIN Sunan Kalijaga Pukul 18.30 WIB.
[9] Wawancara dengan Siti Atiqoh tanggal 7 Mei 2013 di Sapen Pukul 11.30 WIB.
[10] Wawancara dengan Maria Ulfa tanggal 7 Mei di Masjid UIN Sunan Kalijaga Pukul 18.30 WIB.
[11] Wawancara dengan Lilis Mayasari tanggal 8 Mei 2013 melalui pesan singkat Pukul 07.30 WIB.
[12] Wawancara dengan Tika Kurniadewi tanggal 8 Mei 2013 melalui pesan singkat Pukul 08.00 WIB.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Proudly powered by Blogger
Copyright © 2011. UKM JQH AL-MIZAN - All Rights Reserved
Template Design by Creating Website Published by Mas Template