Perspektif Sosiologi Pengetahuan Karl Mannheim
Sejak
al-Qur’an diturunkan hingga sekarang, ia tak pernah berhenti dibaca oleh umat
Muslim. Tidak hanya pada saat shalat tetapi juga dalam acara-acara keagamaan
dan bahkan acara formal, seperti dalam seminar. Dalam membaca al-Qur’an sendiri
diperlukan ilmu tajwid yang memberikan panduan tentang bagaimana setiap huruf
dilafalkan. Tajwid tidak mengatur persoalan tempo, irama, atau intonasi
pembacaan al-Qur’an. Menurut Anne Gade hanya pada periode Abbasiyah para qurra’
mulai melantunkan al-Qur’an mengikuti irama tertentu (maqam) yang
populer saat itu. Kemudian berkembang menjadi teori dan praktik musik melalui
perpaduan antara gaya Arab dan Persia. Lantunan al-Qur’an dengan lagu tertentu
ini kemudian disebut dengan istilah mujawwad. Hal ini merupakan unsur
seni hasil kreativitas manusia dan sebagai bentuk improvisasi yang
diperkenalkan ke dalam qira’ah al-Qur’an.[1]
Adapun
melantunkan al-Qur’an saat ini diwarnai oleh lagu-lagu dan irama ala Masri yang
telah berkembang dan menjadi standart pada dunia tilawatil Qur’an dewasa ini
sehingga dari jenis lagu-lagu yang dibawakan dalam tilawah pun telah berkembang
dengan berbagai variasinya. Di antara lagu-lagu tersebut ialah bayati,
shoba, hijaz, nahawan, rast, jiharkah dan shika.[2] Peralihan,
keutuhan dan tempo lagu yang sudah diatur akan mewujudkan keindahan tersendiri
dalam membacanya.[3]
Melantunkan
al-Qur’an telah dipraktekkan oleh setiap Muslim akan tetapi membaca al-Qur’an
dengan bacaan mujawwad ini tidak tiap orang bisa mengaplikasikannya dan
tak jarang yang harus banyak belajar dan berlatih. Hal ini yang kemudian
dilakukan oleh mahasiswa UIN Sunan Kalijaga yang tergabung dalam UKM JQH
al-Mizan dan khususnya divisi tilawah. Setelah menempuh latihan selama satu
bulan kemudian diadakan acara haflah tilawah. Yang menarik di sini,
konsep acara haflah tilawah dijalankan menyerupai program acara televisi
X-Factor yang sedang digandrungi oleh masyarakat Indonesia. Hal ini tentu
sangat berbeda dengan haflah tilawah pada umumnya karena mereka telah
melakukan beberapa inovasi untuk menyesuaikan dengan kondisi anggota UKM JQH
al-Mizan. Kemudian haflah tilawah tersebut berganti nama menjadi
Q-Factor (Qira’ah Factor).
Adapun setelah mengikuti kegiatan rutin divisi
tilawah UKM JQH al-Mizan yaitu latihan dan haflah tilawah, kami
menemukan beberapa hal yang menarik yang akan dijelaskan kemudian. Latihan yang
mereka lakukan dalam satu minggu terdapat tiga pertemuan. Dua pertemuan untuk
anggota putra dan putri sedangkan satu pertemuan hanya dikhususkan untuk
anggota putri dan yang mengajar juga perempuan. Setelah melakukan latihan
selama satu bulan, acara puncaknya yaitu haflah tilawah. Biasanya hanya
menampilkan beberapa qari/qari’ah antara empat sampai lima, dengan
durasi lima sampai tujuh menit. Adapun yang tampil bukan hanya anggota baru
tetapi adapula anggota lama. Namun anggota baru diwajibkan tampil dalam satu
tahun minimal satu kali. Hal ini dimaksudkan untuk melatih mental mereka ketika
tampil di muka dan ketika terjun ke masyarakat. Sedang maqra atau ayat
yang dibaca tidak ditentukan sehingga peserta haflah tilawah bisa
memilih ayat sesuka hati mereka.
Tujuan
haflah tersebut sejalan dengan motivasi salah satu anggota divisi tilawah yaitu
agar ketika terjun dimasyarakat bisa mengaplikasikannya dalam acara-acara
tertentu. Selain itu ada pula alasan lain yang melatarbelakangi mereka membaca
al-Qur’an dengan lagu, di antaranya yaitu membuat hati tentram, ingin membaca
al-Qur’an lebih lama dan berlandaskan Firman Allah SWT serta hadis Nabi saw.
Surat
Al-Muzzammil ayat 4
أَوْ زِدْ عَلَيْهِ وَرَتِّلِ الْقُرْآَنَ تَرْتِيلًا
Atau
lebih dari seperdua itu. dan bacalah Al Quran itu dengan perlahan-lahan.
حَدَّثَنَا عُثْمَانُ بْنُ أَبِي شَيْبَةَ حَدَّثَنَا جَرِيرٌ عَنْ
الْأَعْمَشِ عَنْ طَلْحَةَ عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ عَوْسَجَةَ عَنْ
الْبَرَاءِ بْنِ عَازِبٍ قَالَ قَالَ
رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ زَيِّنُوا الْقُرْآنَ
بِأَصْوَاتِكُمْ
(HR. Abu Daud - 1256) : Telah menceritakan kepada
Kami Utsman bin Abu Syaibah, telah menceritakan kepada Kami Jarir dari Al
A'masy dari Thalhah dari Abdurrahman bin 'Ausajah dari Al Bara` bin 'Azib ia
berkata; Rasulullah shallAllahu wa'alaihi wa sallam bersabda:
"Perindahlah Al Qur'an dengan suara kalian."
Mereka
memahami bahwa ayat tersebut memerintahkan membaca al-Qur’an dengan tartil
maksudnya ialah tilawah. Dan hadis di atas dipahami sebagai anjuran untuk
melantunkan al-Qur’an dengan lagu. Adapun hal-hal yang tak boleh ditinggalkan
ialah tajwid dan makhraj huruf. Karena melagukan al-Qur’an tidaklah
mudah sehingga banyak yang berangapan hanya akan merusak tajwid padahal bagi
orang-orang yang memang sudah ahli, hal ini bisa menjadi sebuah karya seni yang
bisa dinikmati. Untuk itu ketika melagukan al-Qur’an diperlukan sebuah kaidah.
Melantunkan al-Qur’an dengan lagu memiliki
nilai seni yang terkandung dalam lagu dan suara pelantun. Namun seni
yang dimaksudkan bukan hanya keindahan lagu dan suara semata. Akan tetapi
ketika melantunkan ayat al-Qur’an dengan lagu bisa menyentuh hati pendengar.
Hal ini yang akan menambah keimanan bagi pelantun maupun yang mendengar.
Lagu yang digunakan untuk melantunkan
ayat al-Qur’an tidak semena-mena karena terdapat beberapa jenis lagu dan
variasinya yang biasa digunakan baik di Indonesia maupun mancanegara. Lagu-lagu
ini yang kemudian harus dipahami dengan seksama tanpa meninggalkan tajwid dan makhraj
huruf. Sehingga untuk memperoleh hasil yang memuaskan diperlukan latihan dan
kerja keras.
Kembali ke pembahasan awal, setelah
melakukan proses latihan selama satu bulan kemudian diadakan acara haflah
tilawah seperti yang dijelaskan di muka. Akan tetapi mulai bulan Maret,
konsep acara haflah tilawah mengalami modifikasi yakni meniru program
acara X-Factor yang sedang menjadi favorit kaum muda-mudi di Indonesia.
Sehingga kemudian acara haflah tilawah berganti nama menjadi Q-Factor (Qira’ah
Factor). Kegiatan dengan konsep yang
baru telah dilaksanakan sebanyak dua kali pada bulan Maret dan April. Dalam
rangkaian acara tersebut, setelah peserta tampil kemudian dua orang qari/
qari’ah senior yang paham akan memberikan komentar atau masukan kepada
peserta yang tampil. Hal ini dimaksudkan agar lebih mudah mengerti
kekurangan-kekurangannya sendiri sehingga ada motivasi untuk perbaikan ke
depannya. Adapun yang menjadi peserta haflah bukan hanya yang telah
mampu melagukan al-Qur’an melainkan diperuntukkan pula bagi anggota yang baru
belajar sehingga bisa diketahui kemajuan-kemajuannya.
Jika
melihat fenomena tersebut dari kacamata sosiologi pengetahuan Karl Mannheim,
maka dapat diketahui perilaku dan makna perilaku membaca al-Qur’an dengan lagu.
Adapun makna perilaku membaca al-Qur’an dengan lagu mempunyai tiga makna.
Pertama, makna objektif yaitu makna yang berlaku bagi semua orang dan
diketahui semua orang. Dalam perilaku membaca al-Qur’an dengan lagu makna
objektif yang dapat ditemukan ialah harus memperhatikan tajwid, makhraj
dan lagu serta variasinya. Lagu dan variasinya pun bermacam-macam, sebagai
contoh lagu ala Masri di antaranya yaitu bayati, shoba, hijaz, nahawan,
rast, jiharkah dan shika.[4]
Adapun variasi lagu tilawatil Qur’an antara lain pertama, dalam lagu bayati;
qoror, nawa, syuri, jawab, jawabul jawab. Kedua, dalam lagu shoba;
maal ‘ajam (ajami asyiroh), quflah bastanjar. Ketiga, dalam lagu Hijaz;
kard, kard kurd, kurd. Keempat, dalam lagu nahawan; nakris, ‘usyaq,
jawab. Kelima, dalam lagu rast; rast ala nawa, rast syabir, zanjirin,
salalim. Keenam, dalam lagu jiharkah; nawa (nada awal jiharkah),
jawab (nada tinggi jiharkah). Ketujuh, dalam lagu shika;
iraq (variasi), turki (nada tinggi shika), saml (nada
minor), huzami (quflah).[5]
Namun dalam melagukan al-Qur’an tidak diharuskan urut berdasarkan lagu tersebut
di atas.[6]
Kedua,
makna ekspresive yang merupakan makna personal masing-masing orang.
Makna yang bisa digali dari perilaku membaca al-Qur’an dengan lagu ialah adanya
motivasi untuk bisa menjadi qori ketika terjun ke masyarakat dalam
acara-acara tertentu.
Seperti
yang diungkapkan oleh Siti Atiqoh, “Melu latihan tilawah ben mengko terjun
ng masyarakat bisa dinggo kaya ng acara-acara ngantenan terus ben nambah ilmu” [7]
(“Latihan
tilawah untuk terjun di masyarakat dalam acara-acara dan untuk menambah ilmu”).
Adapula
yang berpendapat bahwa unsur seni yang terkandung di dalamnya dimaksudkan agar
menyentuh hati pendengar dan pelantun untuk menambah keimanan. Hal ini
diutarakan oleh Maria Ulfa ketika ditanya membaca al-Qur’an dengan lagu
mengandung unsur seni, menurut Anda dimana letak unsur seninya?
Kemudian
narasumber menjawab, “Iya, unsur seninya ya ada di suara dan lagunya
beb...tapi menurut saya yang paling utama itu justru unsur seninya ketika ia
bisa menyentuh hati saya pribadi dan yang mendengar, karena dengan itu bisa
menambah iman.”[8]
Selain
itu, tak sedikit yang mengatakan bahwa membaca al-Qur’an dengan lagu juga
mempunyai landasan baik dalam Qur’an maupun hadis. Beberapa di antaranya yaitu
Siti Atiqoh, Maria Ulfa, Lilis Mayasari dan Tika Kurniawati, berikut merupakan
pendapat yang narasumber tersebut kemukakan:
Siti
Atiqoh, “Kuwi ono hadise, sing perbaguslah al-Qur’an dengan suara kalian.
Tapi aku lali hadise.” [9]
(itu ada
hadisnya, yang perbaguslah al-Qur’an dengan suara kalian. Tapi aku lupa
hadisnya)
Maria
Ulfa, “Kan ada hadis yang bunyinya
... زَيِّنُوا الْقُرْآنَ terus ada lagi dalam
al-Qur’an menyuruh membaca al-Qur’an dengan tartil, itu kayaknya di surat
al-Muzammil tapi saya lupa ayat berapa, entah ayat tujuh atau berapa nanti
dicari ajah beb.”[10]
Lilis
Mayasari mengatakan bahwa, “Rasul pernah memerintahkan membaca al-Qur’an
dengan tartil.”[11]
Tika
Kurniawati mengatakan bahwa, “Ada hadis dan dalam surat al-Muzammil ayat 4.”[12]
Ketiga,
makna dokumenter merupakan makna
yang tersirat dan membuat orang-orang membaca al-Qur’an dengan lagu. Setelah
melalui wawancara dengan empat narasumber, semuanya memberikan argumen bahwa
Rasul saw. menganjurkan membaca al-Qur’an dengan tartil dan dilagu
seperti dalam hadis di atas.
Sapen,
24 Juni 2013
Salam
LA
[1] Inggrid
Matson, The Story of the Qur’an terj. R. Cecep Lukman Yasin (Jakarta: Zaman,
2013), hlm. 166.
[2] Ahmad Munir
dan Sudarsono, Ilmu Tajwid dan Seni Baca Qur’an (Jakarta: Rineka Cipta,
1994), hlm. 95-96.
[3] Ahmad Munir
dan Sudarsono, Ilmu Tajwid dan Seni Baca Qur’an, hlm. 98
[4] Ahmad Munir
dan Sudarsono, Ilmu Tajwid dan Seni Baca Qur’an, hlm. 95-96.
[5] Ahmad Munir
dan Sudarsono, Ilmu Tajwid dan Seni Baca Qur’an, hlm. 95-96.
[6] Wawancara
dengan Ain Ali Maftuh melaui pesan singkat tanggal 8 Mei 2013 Pukul 08.30 WIB.
[7] Wawancara
dengan Siti Atiqoh tanggal 7 Mei 2013 di Sapen Pukul 11.30 WIB.
[8] Wawancara
dengan Maria Ulfa tanggal 7 Mei di Masjid UIN Sunan Kalijaga Pukul 18.30 WIB.
[9] Wawancara
dengan Siti Atiqoh tanggal 7 Mei 2013 di Sapen Pukul 11.30 WIB.
[10] Wawancara dengan
Maria Ulfa tanggal 7 Mei di Masjid UIN Sunan Kalijaga Pukul 18.30 WIB.
[11] Wawancara
dengan Lilis Mayasari tanggal 8 Mei 2013 melalui pesan singkat Pukul 07.30 WIB.
[12] Wawancara
dengan Tika Kurniadewi tanggal 8 Mei 2013 melalui pesan singkat Pukul 08.00 WIB.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar